Indonesia adalah Negara Hukum sebagai mana tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun (UUD) 1945, hal tersebut menegaskan bahwa segala persoalan dalam kehidupan bernegara harus berdasarkan aturan main yang ditetapkan di dalam undang-undang. Hukum merupakan seperangkat aturan yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia sehingga tercipta keteraturan, kedamaian, keharmonisan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Peradilan merupakan instrumen dalam menegakan hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan, yang memiliki mekanisme atau prosedur yang telah ditetapkan menurut KUHAP atau undang-undang lain yang menyimpang dari KUHAP (Hukum Pidana Khusus), kehadiran KUHAP sebagai karya hukum nasional bahkan ada yang menyebutnya sebagai karya agung telah mengatur dengan jelas tentang batasan-batasan kewenangan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam upaya menegakkan hukum pidana guna menemukan kebenaran materil.
Salah satunya yang akan penulis bahas adalah mengenai Praperadilan yang merupakan sarana kontrol horizontal terhadap penyidik dan penuntut umum yang diduga melakukan tindakan sewenang-wenangan atau melanggar hukum acara, diperuntukan untuk melindungi hak-hak dari seorang tersangka yang sedang diproses hukum. Besarnya kewenangan dari Hakim tersebut menuntut adanya sikap profesional, independen serta obyektif sebagai suatu keniscayaan keberadaannya sebagai hakim tunggal yang menguji tentang keabsahan objek praperadilan. Olehnya itu seharusnya dari putusan hakim praperadilan tersebut khususnya yang menguji tentang keabsahan penetapan tersangka sejatinya terdapat upaya hukum banding atau penetapan akhir di pengadilan tinggi dapat ditempuh oleh penyidik agar dapat mempertahankan kebenaran proses hukum secara prosedural menurut versi penyidik, yang telah dilakukan dalam menetapkan minimal dua alat bukti sebagaimana pra syarat dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 bahwa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup harus dimaknai minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hal tersebut menjadi penting agar putusan hakim tunggal praperadilan dapat menghindarkan segala bentuk intervensi, intimidasi dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi hakim tunggal praperadilan dalam memutuskan perkara praperadilan sehingga dengan adanya upaya hukum banding atau penetapan akhir dipengadilan tinggi yang menguji putusan hakim sebelumnya juga dapat menjadi sarana kontrol demi tegaknya keadilan.
Terhadap putusan praperadilan manakala penetapan tersangka telah didasarkan pada dua alat bukti dan melalui proses yang dibenarkan dalam hukum acara maka penetapan tersangka dinyatakan sah, kemudian sebaliknya jika penetapan tersangka oleh penyidik tidak didasarkan pada prosedur (formil) perolehan dua alat bukti yang diatur dalam hukum acara maka penetapan tersangka dinyatakan tidak sah, sehingga alat bukti yang digunakan pada saat itu dinyatakan tidak dapat lagi dipergunakan hal tersebut dipertegas di dalam PERMA No.4 Tahun 2016 pada Pasal 2 ayat (3).
Keberadaan lembaga praperadilan yang menguji khususnya sah tidaknya penetapan tersangka dari sisi positifnya bagi penyidik dapat menjadi cambuk dalam meningkatkan profesionalitasnya dalam menetapkan status seseorang menjadi tersangka karena status tersangka bagi sebagian persepsi masyarakat telah melekatkan stigma bahwa seorang tersangka sebagai pelaku tindak pidana, lebih lanjut bahkan dalam posisi jabatan-jabatan tertentu, penetapan status tersangka dapat menghalangi seseorang untuk tetap memegang atau menduduki jabatan tertentu, akan tetapi disisi lain dapat menghambat penyidik dalam proses hukum selanjutnya karena untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi, bagi penyidik harus memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara atau singkatnya penyidik harus memulai dari titik nol.
Diakomodirnya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam salah satu pertimbangan majelis hakim MK bahwa penetapan tersangka merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik yang diawaili ditemukannya dua alat bukti sebagai asas minimum pembuktian dalam prinsip hukum pidana atau yang dikenal dengan asas unus testis nullus testis. Oleh karena itu, panggung untuk menguji tindakan penyidik dalam penetapan tersangka yang tepat adalah melalui mekanisme praperadilan
Namun yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah pasca putusan MK tersebut tidak ada aturan turunan yang mengatur tentang hukum acara praperadilan secara terkodifikasi baik dalam bentuk kesepahaman bersama instansi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan terlebih lagi mengharapkan wajah baru KUHAP yang secara umum yang pembahasannya masih terkatung-katung hingga hari ini, sehingga objek baru praperadilan khususnya penetapan tersangka ditafsirkan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing instansi kepolisan, kejaksaan dan pengadilan dengan membuat aturan masing-masing dalam bentuk Peraturan Kepolisian (Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia),dan Peraturan Mahkamag Agung (Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan) dalam menyikapi perkembangan hukum dan menghindari kekosongan hukum acara.
Mengacu pada Pasal 83 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding, maka sah tidaknya penetapan tersangka bukanlah termasuk dalam pengertian Pasal 79, Pasal 80 ataupun Pasal 81 KUHAP. Demikian pula dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP yang telah dihapus oleh MK dalam putusan MK Nomor 65/PUU-IX/2011 bahwa dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Maka penetapan tersangka juga bukan termasuk pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Hal tersebut dikarenakan bahwa penetapan tersangka merupakan perluasan objek praperadilan yang termaktub pada Pasal 77 KUHAP yang di putus oleh MK dalam putusan Nomor 21/PUU-XX/2014 sehingga hukum acaranya tidak termaktub di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
PERMA Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan di dalam ketentuan PERMA tersebut pada Pasal 3 ayat (1) dinyatakan putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 3 ayat (3) bahwa penetapan pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan upaya hukum. hal ini berbeda dengan Peraturan Kepolisian Perkap Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 14 f dikemukakan bahwa Pemberian Bantuan Hukum dalam perkara Praperadilan adalah mengajukan upaya hukum luar biasa disertai memori peninjauan kembali. Menyikapi kedua ketentuan tersebut dalam metode interpretasi hukum adalah saling kontradiksi sehingga diperlukan payung hukum yang ideal yang menaungi ketentuan upaya hukum pasca putusan praperadilan khususnya sah tidaknya penetapan tersangka dalam bentuk Undang-Undang atau KUHAP
Di dalam prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan memang dikenal asas asas lex superior derogat legi inferiori bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dalam khirarki peraturan perundang-undangan sehingga Perkap dan Perma lah yang sejatinya menyesuaikan dengan undang-undang, pertanyaannya adakah hukum acara yang lahir pascaputusan mahkamah konstitusi? lalu kedua ketentuan tersebut berdasarkan peraturan perundang undangan adalah sejajar, yang menjadi pertanyaan penulis apakah lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung menerima upaya hukum yang akan diajukan oleh Kepolisian?
Bahwa secara normatif sebagaimana yang termaktub dalam KUHAP putusan praperadilan dapat diajukan upaya hukum banding atau penetapan akhir di Pengadilan Tinggi daerah hukum yang bersangkutan hal tersebut dikemukakan pada ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP akan tetapi yang dapat diajukan upaya hukum tersebut adalah sah tidaknya penghentian penyidikan dan sah tidaknya penghentian penuntutan namun pada tahun 2011 dalam putusan MK No.65/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. Pascaputusan MK Nomor 21/PUU-XX/2014 ketentuan hukum acara praperadilan tentang sah tidaknya, penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan tidak memiliki aturan tegas tentang hukum acaranya sehingga menimbulkan kontroversi tentang upaya hukum yang dapat ditempuh pascaputusan praperadilan tersebut
Menyikapi hal tersebut kurang lebih setahun berselang pascaputusan MK Nomor 21/PUU-XX/2014, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2016 tetang Larangan Peninjauan Kembali putusan praperadilan. Di dalam ketentuan PERMA tersebut pada Pasal 3 ayat (1) dinyatakan putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
Kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 3 ayat (3) bahwa penetapan pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan upaya hukum. Akan tetapi di dalam Peraturan Kepolisian Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia didalam Pasal 14 Poin f dinyatakan bahwa Pemberian Bantuan Hukum dalam perkara Praperadilan antara lain di poin f dinyatakan mengajukan upaya hukum luar biasa disertai memori peninjauan kembali. Sehingga dari kedua ketentuan tersebut kecenderungannya upaya hukum pascaputusan praperadilan ditafsirkan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi penegak hukum khususnya Kepolisian melalui PERKAP Nomor 2 Tahun 2017 dan Mahkamah Agung melalui PERMA Nomor 4 Tahun 2016.Kedua ketentuan tersebut bila ditafsirkan melalui metode penafsiran/interpretasi hukum maka kedua ketentuan tersebut adalah kontradiksi.Di dalam prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan memang dikenal asas asas lex superior derogat legi inferiori bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dalam khirarki peraturan perundang-undangan sehingga Perkap dan Perma lah yang sejatinya menyesuaikan dengan undang-undang
Bahwa kewenangan yang begitu besar yang dimiliki hakim tunggal praperadilan menurut hemat penulis sangat rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan penyidik dalam hal penetapan tersangka yang sebelumnya telah menetapkan dua alat bukti, sehingga ketiadaan mekanisme chek and balance atau upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penyidik untuk mempertahankan kebenaran formil perolehan alat bukti menurut versi penyidik menyebabkan penyidik tidak dapat mempertahankan alat bukti yang ada dan untuk melanjutkan proses hukum bagi tersangka yang memenangkan praperadilan (tidak sahnya penetapan tersangka) penyidik harus menerbitkan sprindik baru untuk menemukan minimal dua alat bukti yang baru berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, sehingga hal tersebut dapat menghambat proses hukum. Demikian pula sebaliknya kesempatan yang sama juga diberikan bagi tersangka yang ditolak permohonan praperadilannya dalam putusan praperadilan dapat mengajukan upaya hukum banding atau penetapan akhir di pengadilan tinggi daerah hukum yang bersangkutan sehingga terdapat persamaan kedudukan bagi penyidik dan tersangka atau keluarga tersangka atau kuasanya untuk mengajukan upaya hukum